"Aku ingin jadi koki saja, kelihatannya enak dan aman."
Itu pikiran jaman kecilku, dulu. Waktu aku masih begitu imut dan lucu. Sekarang masih sih. Hahaaa... Lupakan. Kapan persisnya aku tidak ingat. Apakah SD, atau TK, atau malah sebelum itu. Ibuku seorang dokter gigi, bapakku arsitek. Sebagai anak kecil tentunya role model pertama adalah orang tua. Yang terbayang dalam benakku, kalau aku jadi dokter, resiko salah suntik bisa bikin orang mati. Kalau jadi arsitek, kejatuhan bahan bangunan bisa mati. Ah, aku mau cari pekerjaan yang aman-aman saja! Maka aku ingin jadi koki dan memasak makanan enak. Mungkin utamanya untuk diriku sendiri. Ah, how lovely such a simple thought.
Waktu berlalu dan tanpa sadar aku menyukai pelajaran Bahasa Inggris. Begitu sukanya sampai aku tidak peduli dengan segala nilai-nilai lain selama masih dalam batas cukup untuk lulus. Kalau sudah nilai Bahasa Inggris yang jatuh, sedihnya tuh di sini. Waktu SD, aku berharap segera dapat pelajaran Bahasa Inggris. Entah kenapa. Mungkin karena tampak keren. Aku pun berusaha yang terbaik dalam mata pelajaran yang satu itu.
Hingga aku ikut kursus Bahasa Inggris di tempat kursus umum, dan jadi peserta termuda karena aku masih kelas 6 SD. Akan tetapi tak bertahan lama. Dua level dan aku berhenti. Masuk ke SMP, masih Bahasa Inggris yang jadi minat utama. Alhamdulillah ada seorang perwira TNI AL yang mengajar sebuah ekstra kulikuler baru di sekolahku. English Debate Club. Kami bahkan pernah nekat diikutkan lomba debat tingkat SMA. Jadilah dua tim yang masing-masing terdiri dari tiga orang, bertanding melawan kakak-kakak putih abu-abu. Ah, upik abu ini. Kami kalah. Tapi senang hati. Aku juga masih lanjut kursus Bahasa Inggris, tapi di tempat kursus lain. Alhamdulillah placement test langsung level 6, hehe... lanjut sampai level 7, ngga kuat biayanya, berhenti. Padahal mungkin masih sampai level 10. Entah.
Time flies... dan aku masuk SMA. Di sinilah... aku kecewa. Sekolah favorit orang Surabaya ini ternyata tidak punya kelas bahasa! Iya, beranjak SMA aku merasa minatku di bahasa. Aku ingin mendalami bahasa. Terserah lah yang lain jago matematika, fisika, kimia, ecetera, aku suka Bahasa Inggris. Yang dengan sangat mengecewakannya pelajaran tersebut terkesan diajarkan seadanya. Masa sudah SMA simple past dan past tense lagi? Just some reading and doing lessons... argh. Bukan yang aku harapkan tapi ya sudahlah. Hingga suatu hari, ada pameran kebudayaan yang menampilkan stan dari berbagai negara. Aku berkenalan dengan seorang kakak penutur Bahasa Jerman yang ramah. Cakep. Hahaaa... Baik deh pokoknya orangnya. Singkat cerita, pertemanan dengan si kakak membawaku mengenal Pusat Kebudayaan Prancis di Surabaya yang dikenal dengan istilah CCCL, sekarang sudah berubah nama jadi IFI. Oh my, tempat lesnya itu indah sekali! Rumah bergaya Belanda dengan taman belakang dan kafe.... Aku jatuh cinta pada tempatnya, hahahaa... Minta ijin ke ortu untuk les Bahasa Prancis, dan itu berlanjut sampai aku kuliah sekitar tahun kedua.
Pelajaran semakin sulit. Mulut monyong-monyong ngomong, terdengar keren tapi tidak punya banyak teman bicara. Aku makin sering ngoceh dengan diriku sendiri. Dalam Bahasa Prancis. Argh... antara keren dan ngenes. Makin sedikit pula teman yang melanjutkan kursus. Jadilah aku berhenti setelah mencapai level Avancé, semacam advance kali ya dalam Bahasa Inggris, hehe... Tapi jangan tanya sekarang kabar Prancisku.
Baca juga nih: Obsesi Poliglot
Terus, kenapa kuliah Psikologi?
Hehe.... Pengaruh teman-teman satu sekolahan yang ingin masuk kedokteran atau teknik, aku merasa tempatku bukan di keduanya, walaupun ibuku sendiri menyarankan aku mengambil jurusan kedokteran gigi seperti beliau. Aku merasa itu bukan bidangku... atau aku saja yang malas mendalami IPA, walaupun penjurusanku jatuh di IPA juga. Aku sepertinya galau tiada henti ya? Pagi sekolah seperti biasa, sore les Prancis, di akhir pekan aku les privat menghafal Qur'an bersama adik-adikku. Sok sibuk lah aku sampai tidak sempat pacaran, hahahaa... #nggalakuajangeles
Iya, terus kenapa Psikologi?
Sabar, mamen.... Jadi aku punya banyak minat yang aku sendiri tidak tahu mana yang akan didalami. Cita-cita sebagai koki pun terlupakan begitu saja, saat menghadapi kenyataan tugas-tugas akademis, prospek masa depan, promosi dari universitas ini-itu, dan lain sebagainya. Seorang teman sekelas tiba-tiba mencetus, "Ambil psikologi aja. ........." kenapa titik-titik? Aku juga lupa alasan utamanya apa. Apakah supaya lebih kenal diri sendiri, apakah untuk menolong orang, atau apalah. Yang jelas pikiranku terfokus supaya bisa masuk psikologi walaupun aku dari jurusan IPA. Kenapa bukan Sastra Inggris? Toh itu bahasa kesukaanmu, Ras. Iya, aku juga bertanya-tanya. Dulu itu seolah jurusan sastra itu tanpa masa depan yang jelas. Maafkan untuk teman-teman sastra... Padahal di tahun terakhirku di Psikologi, aku malah ingin pindah ke Sastra Inggris.... Iya, kuasanya Allah, aku diterima di Psikologi dua kali. Gagal di jalur prestasi, diterima lewat PMDK dan SPMB. Allahu Akbar. Then I feel like I belong here.
Is that so?
Alhamdulillah, 4,5 tahun berlalu dan akhirnya aku lulus juga. Lalu? Jadi psikolog? Oh ternyata.... harus sekolah lagi. Sarjana Psikologi adalah gelar yang... "tanggung". Aku bingung mau kerja apa. Baru di sini aku terpikir kerja. Mana itu cita-cita koki. Sudahlah lapuk dimakan galau. Tawaran diskon jika langsung melanjutkan kuliah Profesi Psikolog di universitas yang sama tidak membuatku tertarik. Entahlah, sepertinya menjadi psikolog bukan profesi yang kubayangkan cocok denganku. Mendengarkan orang curhat, komplen, dan harus bisa menolong mereka menyelesaikan problem psikologis terbayang sebagai suatu hal yang begitu berat, aku tidak mampu.
Jadilah aku melanglang buana sekolah S2 Kajian Wilayah Jepang dengan harapan memperoleh beasiswa sekolah bahasa Jepang di negaranya langsung. Kandas... walau lulus cumlaude di akhir tahun kedua, persis, tidak lebih tidak kurang. Alhamdulillah. Dari situ aku terpikir, mungkin aku bisa jadi penerjemah, baik tulisan maupun lisan, yaitu interpreter. Tuh kan? Padahal profesi tersebut lebih dekat dari jurusan Sastra!! Nyesel kamu? Hampir, kalau tidak ingat perkuliahanku itu memberikan pelajaran berharga tentang berkenalan dengan sosok "manusia" dan teman-teman serta senior-senior yang luar biasa. Unik, menarik. Individual differences.
Hampirrrrr aku diterima di perusahaan Jepang sebagai penerjemah.... dan ibuku menyuruhku pulang ke Surabaya. Cari kerja di Surabaya saja. Lupakan yang namanya cita-cita. Apapun itu bentuknya. Pekerjaan tampak seperti suatu upaya cari uang, mana yang kena, itu yang kudu dijalani. Melamar jadi dosen pendidikan Bahasa Jepang, oleh pihak universitas aku dimasukkan ke jurusan Psikologi. Ya iyalah aku tidak diterima, walaupun lulus tahap satu sampai tiga. Melamar ke salah satu lembaga kursus Bahasa Inggris populer di Surabaya, batal ikut training karena ijasah harus ditahan. Ah... mungkin memang belum jodoh. Aku menghibur diri.
Hingga suatu hari.... saat akhirnya aku tersadar untuk kembali ke rutinitas lama kursus menghafal Qur'an.... seorang guru senior menawarkan padaku, "Bantu ngajar ya!"
Wuihhh... jadi guru Qur'an.... o_O tampak begitu mulia dan agung. Aku mengikuti prosedur yang ada. Ikut tes dan wawancara, hingga akhirnya aku tersentak dengan kenyataan dibalik "keren"nya mengajarkan kitab suci pedoman dunia akhirat umat Islam ini. Penghargaan yang kurang, yang bagi lembaga tersebut itu sudah "cukup bagus" dibanding tempat lain. Pulang ke rumah, aku nangis gulung-gulung. Ijasah S2 ku cuma dihargai "segitu"? What a waste I am. Dan aku mulai membenci diri sendiri, marah terhadap lingkungan, dan seterusnya. Tapi, ya sudahlah. Toh niat awalnya kan membantu. As time goes by, maybe you'll find a better one. Aku berusaha menghibur diri, sekali lagi.
But time really flies into place we never thought possible....
I love teaching... eventually. Ini sudah dua tahun berjalan, dan aku masih di lembaga yang dulu mengajarkan tahfidz padaku itu. Dengan segala suka dukanya. Dengan segala dinamika berinteraksi dengan teman kerja berlatar belakang sungguh berbeda. Mereka kebanyakan lulusan pesantren. Aku selalu sekolah umum. Dan lain sebagainya. Urusan dengan manajemen lembaga selalu membuat kesal, tapi hari-hari mengamati perkembangan siswa yang awalnya begitu kesulitan membaca satu kalimat potongan ayat, hingga akhirnya bisa membaca satu surat di juz 30 dengan begitu lancar membuatku haru dalam hati. Allah, Engkaulah yang melunakkan lisan mereka untuk mengucap kalam-Mu, terima kasih telah menjadikan aku salah satu perantara bagi proses belajar mereka.
Alhamdulillah, alladzii bi ni'matihii tatimmus shoolihaaats..
Terlepas dari runtutan panjang takdir yang menyertai keputusan untuk menjadi salah satu staf pengajar di lembaga kursus belajar Qur'an tersebut (bertemu calon suami yang mantan guru di sana juga, pindah ke Sidoarjo, hamil, melahirkan, dan mungkin akan jadi single mom sekarang^^), aku berharap masih bisa mengajar siswa-siswa dewasa di lembaga ini, berbagi sedikit ilmu yang aku punya ini, sehingga hidupku bisa terasa lebih bermanfaat dari sekedar mengejar materi. Okelah, aku memang butuh uang, buat belanja, buat kebutuhan anak, jalan-jalan ke luar negeri, hehe... tapi janji Allah itu pasti, bahwa Dia akan memberikan rezeki dari jalan yang tidak diduga-duga oleh manusia.
Jadi, cita-citamu hari ini apa?
Aku ingin jadi guru ngaji yang menguasai berbagai bahasa. Jadi aku bisa berbagi dengan muslimah dari berbagai etnis di dunia. Mungkin ada muallaf Jepang yang ingin belajar membaca Qur'an, atau ekspatriat yang kesulitan mencari guru Qur'an berbahasa Inggris untuk dirinya, atau anaknya, hehehe...
Aku ingin jadi sebaik-baik manusia, yang bermanfaat bagi orang lain, yang belajar dan mengamalkan Qur'an. Aamiin yaa Allah....
Itu cerita cita-citaku, bagaimana denganmu? =)
mungkin kyk si adek ini deh bayanganku dulu... (yumeiro patissiere |
Itu pikiran jaman kecilku, dulu. Waktu aku masih begitu imut dan lucu. Sekarang masih sih. Hahaaa... Lupakan. Kapan persisnya aku tidak ingat. Apakah SD, atau TK, atau malah sebelum itu. Ibuku seorang dokter gigi, bapakku arsitek. Sebagai anak kecil tentunya role model pertama adalah orang tua. Yang terbayang dalam benakku, kalau aku jadi dokter, resiko salah suntik bisa bikin orang mati. Kalau jadi arsitek, kejatuhan bahan bangunan bisa mati. Ah, aku mau cari pekerjaan yang aman-aman saja! Maka aku ingin jadi koki dan memasak makanan enak. Mungkin utamanya untuk diriku sendiri. Ah, how lovely such a simple thought.
Waktu berlalu dan tanpa sadar aku menyukai pelajaran Bahasa Inggris. Begitu sukanya sampai aku tidak peduli dengan segala nilai-nilai lain selama masih dalam batas cukup untuk lulus. Kalau sudah nilai Bahasa Inggris yang jatuh, sedihnya tuh di sini. Waktu SD, aku berharap segera dapat pelajaran Bahasa Inggris. Entah kenapa. Mungkin karena tampak keren. Aku pun berusaha yang terbaik dalam mata pelajaran yang satu itu.
Hingga aku ikut kursus Bahasa Inggris di tempat kursus umum, dan jadi peserta termuda karena aku masih kelas 6 SD. Akan tetapi tak bertahan lama. Dua level dan aku berhenti. Masuk ke SMP, masih Bahasa Inggris yang jadi minat utama. Alhamdulillah ada seorang perwira TNI AL yang mengajar sebuah ekstra kulikuler baru di sekolahku. English Debate Club. Kami bahkan pernah nekat diikutkan lomba debat tingkat SMA. Jadilah dua tim yang masing-masing terdiri dari tiga orang, bertanding melawan kakak-kakak putih abu-abu. Ah, upik abu ini. Kami kalah. Tapi senang hati. Aku juga masih lanjut kursus Bahasa Inggris, tapi di tempat kursus lain. Alhamdulillah placement test langsung level 6, hehe... lanjut sampai level 7, ngga kuat biayanya, berhenti. Padahal mungkin masih sampai level 10. Entah.
Time flies... dan aku masuk SMA. Di sinilah... aku kecewa. Sekolah favorit orang Surabaya ini ternyata tidak punya kelas bahasa! Iya, beranjak SMA aku merasa minatku di bahasa. Aku ingin mendalami bahasa. Terserah lah yang lain jago matematika, fisika, kimia, ecetera, aku suka Bahasa Inggris. Yang dengan sangat mengecewakannya pelajaran tersebut terkesan diajarkan seadanya. Masa sudah SMA simple past dan past tense lagi? Just some reading and doing lessons... argh. Bukan yang aku harapkan tapi ya sudahlah. Hingga suatu hari, ada pameran kebudayaan yang menampilkan stan dari berbagai negara. Aku berkenalan dengan seorang kakak penutur Bahasa Jerman yang ramah. Cakep. Hahaaa... Baik deh pokoknya orangnya. Singkat cerita, pertemanan dengan si kakak membawaku mengenal Pusat Kebudayaan Prancis di Surabaya yang dikenal dengan istilah CCCL, sekarang sudah berubah nama jadi IFI. Oh my, tempat lesnya itu indah sekali! Rumah bergaya Belanda dengan taman belakang dan kafe.... Aku jatuh cinta pada tempatnya, hahahaa... Minta ijin ke ortu untuk les Bahasa Prancis, dan itu berlanjut sampai aku kuliah sekitar tahun kedua.
Pelajaran semakin sulit. Mulut monyong-monyong ngomong, terdengar keren tapi tidak punya banyak teman bicara. Aku makin sering ngoceh dengan diriku sendiri. Dalam Bahasa Prancis. Argh... antara keren dan ngenes. Makin sedikit pula teman yang melanjutkan kursus. Jadilah aku berhenti setelah mencapai level Avancé, semacam advance kali ya dalam Bahasa Inggris, hehe... Tapi jangan tanya sekarang kabar Prancisku.
Baca juga nih: Obsesi Poliglot
Terus, kenapa kuliah Psikologi?
Hehe.... Pengaruh teman-teman satu sekolahan yang ingin masuk kedokteran atau teknik, aku merasa tempatku bukan di keduanya, walaupun ibuku sendiri menyarankan aku mengambil jurusan kedokteran gigi seperti beliau. Aku merasa itu bukan bidangku... atau aku saja yang malas mendalami IPA, walaupun penjurusanku jatuh di IPA juga. Aku sepertinya galau tiada henti ya? Pagi sekolah seperti biasa, sore les Prancis, di akhir pekan aku les privat menghafal Qur'an bersama adik-adikku. Sok sibuk lah aku sampai tidak sempat pacaran, hahahaa... #nggalakuajangeles
Iya, terus kenapa Psikologi?
Sabar, mamen.... Jadi aku punya banyak minat yang aku sendiri tidak tahu mana yang akan didalami. Cita-cita sebagai koki pun terlupakan begitu saja, saat menghadapi kenyataan tugas-tugas akademis, prospek masa depan, promosi dari universitas ini-itu, dan lain sebagainya. Seorang teman sekelas tiba-tiba mencetus, "Ambil psikologi aja. ........." kenapa titik-titik? Aku juga lupa alasan utamanya apa. Apakah supaya lebih kenal diri sendiri, apakah untuk menolong orang, atau apalah. Yang jelas pikiranku terfokus supaya bisa masuk psikologi walaupun aku dari jurusan IPA. Kenapa bukan Sastra Inggris? Toh itu bahasa kesukaanmu, Ras. Iya, aku juga bertanya-tanya. Dulu itu seolah jurusan sastra itu tanpa masa depan yang jelas. Maafkan untuk teman-teman sastra... Padahal di tahun terakhirku di Psikologi, aku malah ingin pindah ke Sastra Inggris.... Iya, kuasanya Allah, aku diterima di Psikologi dua kali. Gagal di jalur prestasi, diterima lewat PMDK dan SPMB. Allahu Akbar. Then I feel like I belong here.
Is that so?
Alhamdulillah, 4,5 tahun berlalu dan akhirnya aku lulus juga. Lalu? Jadi psikolog? Oh ternyata.... harus sekolah lagi. Sarjana Psikologi adalah gelar yang... "tanggung". Aku bingung mau kerja apa. Baru di sini aku terpikir kerja. Mana itu cita-cita koki. Sudahlah lapuk dimakan galau. Tawaran diskon jika langsung melanjutkan kuliah Profesi Psikolog di universitas yang sama tidak membuatku tertarik. Entahlah, sepertinya menjadi psikolog bukan profesi yang kubayangkan cocok denganku. Mendengarkan orang curhat, komplen, dan harus bisa menolong mereka menyelesaikan problem psikologis terbayang sebagai suatu hal yang begitu berat, aku tidak mampu.
Jadilah aku melanglang buana sekolah S2 Kajian Wilayah Jepang dengan harapan memperoleh beasiswa sekolah bahasa Jepang di negaranya langsung. Kandas... walau lulus cumlaude di akhir tahun kedua, persis, tidak lebih tidak kurang. Alhamdulillah. Dari situ aku terpikir, mungkin aku bisa jadi penerjemah, baik tulisan maupun lisan, yaitu interpreter. Tuh kan? Padahal profesi tersebut lebih dekat dari jurusan Sastra!! Nyesel kamu? Hampir, kalau tidak ingat perkuliahanku itu memberikan pelajaran berharga tentang berkenalan dengan sosok "manusia" dan teman-teman serta senior-senior yang luar biasa. Unik, menarik. Individual differences.
Hampirrrrr aku diterima di perusahaan Jepang sebagai penerjemah.... dan ibuku menyuruhku pulang ke Surabaya. Cari kerja di Surabaya saja. Lupakan yang namanya cita-cita. Apapun itu bentuknya. Pekerjaan tampak seperti suatu upaya cari uang, mana yang kena, itu yang kudu dijalani. Melamar jadi dosen pendidikan Bahasa Jepang, oleh pihak universitas aku dimasukkan ke jurusan Psikologi. Ya iyalah aku tidak diterima, walaupun lulus tahap satu sampai tiga. Melamar ke salah satu lembaga kursus Bahasa Inggris populer di Surabaya, batal ikut training karena ijasah harus ditahan. Ah... mungkin memang belum jodoh. Aku menghibur diri.
Hingga suatu hari.... saat akhirnya aku tersadar untuk kembali ke rutinitas lama kursus menghafal Qur'an.... seorang guru senior menawarkan padaku, "Bantu ngajar ya!"
Wuihhh... jadi guru Qur'an.... o_O tampak begitu mulia dan agung. Aku mengikuti prosedur yang ada. Ikut tes dan wawancara, hingga akhirnya aku tersentak dengan kenyataan dibalik "keren"nya mengajarkan kitab suci pedoman dunia akhirat umat Islam ini. Penghargaan yang kurang, yang bagi lembaga tersebut itu sudah "cukup bagus" dibanding tempat lain. Pulang ke rumah, aku nangis gulung-gulung. Ijasah S2 ku cuma dihargai "segitu"? What a waste I am. Dan aku mulai membenci diri sendiri, marah terhadap lingkungan, dan seterusnya. Tapi, ya sudahlah. Toh niat awalnya kan membantu. As time goes by, maybe you'll find a better one. Aku berusaha menghibur diri, sekali lagi.
But time really flies into place we never thought possible....
I love teaching... eventually. Ini sudah dua tahun berjalan, dan aku masih di lembaga yang dulu mengajarkan tahfidz padaku itu. Dengan segala suka dukanya. Dengan segala dinamika berinteraksi dengan teman kerja berlatar belakang sungguh berbeda. Mereka kebanyakan lulusan pesantren. Aku selalu sekolah umum. Dan lain sebagainya. Urusan dengan manajemen lembaga selalu membuat kesal, tapi hari-hari mengamati perkembangan siswa yang awalnya begitu kesulitan membaca satu kalimat potongan ayat, hingga akhirnya bisa membaca satu surat di juz 30 dengan begitu lancar membuatku haru dalam hati. Allah, Engkaulah yang melunakkan lisan mereka untuk mengucap kalam-Mu, terima kasih telah menjadikan aku salah satu perantara bagi proses belajar mereka.
Alhamdulillah, alladzii bi ni'matihii tatimmus shoolihaaats..
Terlepas dari runtutan panjang takdir yang menyertai keputusan untuk menjadi salah satu staf pengajar di lembaga kursus belajar Qur'an tersebut (bertemu calon suami yang mantan guru di sana juga, pindah ke Sidoarjo, hamil, melahirkan, dan mungkin akan jadi single mom sekarang^^), aku berharap masih bisa mengajar siswa-siswa dewasa di lembaga ini, berbagi sedikit ilmu yang aku punya ini, sehingga hidupku bisa terasa lebih bermanfaat dari sekedar mengejar materi. Okelah, aku memang butuh uang, buat belanja, buat kebutuhan anak, jalan-jalan ke luar negeri, hehe... tapi janji Allah itu pasti, bahwa Dia akan memberikan rezeki dari jalan yang tidak diduga-duga oleh manusia.
Jadi, cita-citamu hari ini apa?
Aku ingin jadi guru ngaji yang menguasai berbagai bahasa. Jadi aku bisa berbagi dengan muslimah dari berbagai etnis di dunia. Mungkin ada muallaf Jepang yang ingin belajar membaca Qur'an, atau ekspatriat yang kesulitan mencari guru Qur'an berbahasa Inggris untuk dirinya, atau anaknya, hehehe...
Aku ingin jadi sebaik-baik manusia, yang bermanfaat bagi orang lain, yang belajar dan mengamalkan Qur'an. Aamiin yaa Allah....
Itu cerita cita-citaku, bagaimana denganmu? =)
Dulu aku pengin jadi dokter. Pas semakin gede berpindah hati menjadi penulis. Sekarang malah jadi guru dan blogger
ReplyDeletehehehee... jalan hidup tu kita ngga pernah tahu ya mbaaa... hehehee
DeleteMasyaAllah, semoga terus dilancarkan untuk tercapai cita-citanya, aamiin
ReplyDeleteNah ini tulisan mu paling keren say, panjang dan beralur, , ayooo semanvat biasakan nulis minimal 500 kata. Teriring doa semoga senantiasa dimudahkan dlm belajar, mengajar dan mengamalkan ilmu Allah dlm kalam2 Nya.
ReplyDeleteAq suka bacanya. Seakan akan aq sendiri yg mengalami.
ReplyDeleteInsyaallah diberi kemudahan untuk segala yang dijalani. Amin!