Barusan baca sekilas bukunya Asma Nadia, Jangan Bercerai Bunda... Jadi berasa... *krik krik* kenapa ya diberi judul demikian? Apakah karena banyak perempuan yang mengajukan gugatan cerai dibanding laki-laki yang menjatuhkan talak? Duluuuuu sekali, aku bertanya sendiri dalam hati. Kenapa juga orang yang menikah kemudian memutuskan untuk berpisah? Kalau memang akan demikian, why did they got married in the first place?
Akhirnya sekarang, pertanyaan yang sama harus aku hadapkan ke depan mukaku sendiri. Why, Ras? Dan aku pun tak bisa menjawab dengan jelas, karena keputusan itu ku ambil setelah pernikahan ini berjalan, dan bukan sesuatu yang kurencanakan dari awal. I wonder if there's any woman who planned to separate when she said 'yes' to a proposal. Who wanted to be a widow? Nah, sedikit oot ya, ternyata dalam kamus Bahasa Inggris, istilah 'widow' itu digunakan untuk menyebut wanita yang ditinggal mati suaminya dan tidak menikah lagi. Kalau laki-laki yang ditinggal mati istrinya, disebut 'widower'. Bagaimana dengan mereka yang bercerai? Istilahnya adalah 'divorcee', hehehe... Kalau Bahasa Indonesia? Janda ama duda ajah. Hoho... tambah kosakata lah saya.
Oke, back to the topic. Dari beberapa kisah dalam buku Jangan Bercerai Bunda yang ditulis Asma Nadia dan kawan-kawan tersebut, ada kisah seorang perempuan yang dilamar tiga kali oleh satu pria yang sama, tapi kemudian mengalami KDRT dalam rumah tangganya. Suaminya ternyata tidak bisa menafkahi biologis sehingga ia mengalami tekanan psikologis, yang hal tersebut ia lampiaskan dengan menyiksa istrinya. Dikurung, dipukuli, dianiaya verbal dan fisik. Tapi, si perempuan bertahan hingga beberapa tahun dan hingga akhirnya, ia memutuskan untuk berpisah dari suaminya. Itu pun, mereka lakukan dengan kesepakatan baik-baik, diiringi pelukan cinta yang, yah... cinta itu kadang tak ada logika, kata lagu. Biar kata disiksa fisik, dialog perpisahan itu terjadi dengan baik-baik, bahkan haru. Di sini saya merasa heran =) kalau memang cinta, kenapa harus menyakiti fisik? Kalau memang hati masih tertaut, kenapa harus menjalani hari-hari yang menyakitkan...?
Karena sudah takdir?
Aku tidak tahu... yang jelas, di penghujung kisah itu, mereka sepakat bahwa si lelaki yang akan mengurus surat cerai. Ikrar talak pun, diawali dengan cium tangan takzim dari si istri. Diikuti rasa kaget dan menggetarkan bumi, katanya. Arsy Allah saja berguncang atas satu kata yang bercandanya pun jadi hukum.
Jadi teringat kata-kataku sendiri, dulu, entah kapan di satu rentang waktu di masa lalu. "Kok bisa ya, orang yang sudah nikah dan punya anak memutuskan untuk bercerai?" Dan ternyata bisa saja, kenapa tidak. Hubungan badan tidak membuat orang lekat seperti perangko dengan amplop surat. Kalau ternyata ngga cocok, why did you choose him in the first place? Kadang aku heran sendiri juga. Sederhananya, karena seiring berjalannya waktu, orang bisa berubah. Itu aja sih gampangnya. Dulu bagaimana, sekarang seperti apa.
Jadi, kamu bukan yang paling merana, Ras ^_^ udah. Gitu aja. Jangan jadikan keadaan sekarang sebagai pembenaran untuk bertindak sesuka hati lompat ke sana ke sini, wkwkwkkw....
Akhirnya sekarang, pertanyaan yang sama harus aku hadapkan ke depan mukaku sendiri. Why, Ras? Dan aku pun tak bisa menjawab dengan jelas, karena keputusan itu ku ambil setelah pernikahan ini berjalan, dan bukan sesuatu yang kurencanakan dari awal. I wonder if there's any woman who planned to separate when she said 'yes' to a proposal. Who wanted to be a widow? Nah, sedikit oot ya, ternyata dalam kamus Bahasa Inggris, istilah 'widow' itu digunakan untuk menyebut wanita yang ditinggal mati suaminya dan tidak menikah lagi. Kalau laki-laki yang ditinggal mati istrinya, disebut 'widower'. Bagaimana dengan mereka yang bercerai? Istilahnya adalah 'divorcee', hehehe... Kalau Bahasa Indonesia? Janda ama duda ajah. Hoho... tambah kosakata lah saya.
Oke, back to the topic. Dari beberapa kisah dalam buku Jangan Bercerai Bunda yang ditulis Asma Nadia dan kawan-kawan tersebut, ada kisah seorang perempuan yang dilamar tiga kali oleh satu pria yang sama, tapi kemudian mengalami KDRT dalam rumah tangganya. Suaminya ternyata tidak bisa menafkahi biologis sehingga ia mengalami tekanan psikologis, yang hal tersebut ia lampiaskan dengan menyiksa istrinya. Dikurung, dipukuli, dianiaya verbal dan fisik. Tapi, si perempuan bertahan hingga beberapa tahun dan hingga akhirnya, ia memutuskan untuk berpisah dari suaminya. Itu pun, mereka lakukan dengan kesepakatan baik-baik, diiringi pelukan cinta yang, yah... cinta itu kadang tak ada logika, kata lagu. Biar kata disiksa fisik, dialog perpisahan itu terjadi dengan baik-baik, bahkan haru. Di sini saya merasa heran =) kalau memang cinta, kenapa harus menyakiti fisik? Kalau memang hati masih tertaut, kenapa harus menjalani hari-hari yang menyakitkan...?
Karena sudah takdir?
Aku tidak tahu... yang jelas, di penghujung kisah itu, mereka sepakat bahwa si lelaki yang akan mengurus surat cerai. Ikrar talak pun, diawali dengan cium tangan takzim dari si istri. Diikuti rasa kaget dan menggetarkan bumi, katanya. Arsy Allah saja berguncang atas satu kata yang bercandanya pun jadi hukum.
Jadi teringat kata-kataku sendiri, dulu, entah kapan di satu rentang waktu di masa lalu. "Kok bisa ya, orang yang sudah nikah dan punya anak memutuskan untuk bercerai?" Dan ternyata bisa saja, kenapa tidak. Hubungan badan tidak membuat orang lekat seperti perangko dengan amplop surat. Kalau ternyata ngga cocok, why did you choose him in the first place? Kadang aku heran sendiri juga. Sederhananya, karena seiring berjalannya waktu, orang bisa berubah. Itu aja sih gampangnya. Dulu bagaimana, sekarang seperti apa.
Jadi, kamu bukan yang paling merana, Ras ^_^ udah. Gitu aja. Jangan jadikan keadaan sekarang sebagai pembenaran untuk bertindak sesuka hati lompat ke sana ke sini, wkwkwkkw....
Semangat mba Laras!!!
ReplyDeleteterima kasih, kakak oliiiif....
Delete