Pernahkah dalam hidupmu kamu begitu membenci seseorang hingga mengharap kematiannya demi untuk mengetahui dia sudah musnah dari dunia ini? Hanya untuk itu...
Bukan pertama kalinya aku sakit hati. Malah sudah sering. Kecewa, hal-hal yang tidak sesuai harapan, menyukai orang yang ternyata jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Aku sudah biasa. Tapi tetap saja sakitnya itu tidak biasa. Heran saya. Sudah sering mengalami tapi kenapa tidak bisa kebal juga? Tiap kali, masih saja sakit. Masih saja marah. Masih saja sulit untuk memaafkan. Pun kali ini ketika "kapal" yang sudah lama ditinggal nakhodanya ini pada akhirnya harus karam, dan aku sudah kembali ke kapal induk bersama si kecilku tersayang. Bukan kepergian nakhoda yang kusedihkan. Malah dengan senang hati aku mendengar kabar bahwa ia ditelan ikan paus, terkoyak-koyak di lautan, berhamburan jadi buih dan tak berbentuk lagi. Bukan ketiadaannya yang kusesalkan...
Mungkin atas kebodohanku sendiri, yang terlalu mudah percaya pada mulut manis, dan keajaiban yang... entahlah. Aku sebenarnya berpegang pada apa. Doa sudah diucap, ikhtiyar sudah dilakukan. Pada akhirnya kemampuan menerima takdir yang menjadi pembeda. Bahwa semuanya dari Allah, baik yang menyenangkanmu, maupun yang menyesakkan dadamu. Pun bahwa saat ini masih harus menyembunyikan kenyataan dari banyak orang yang mungkin kepo atas kehidupan pribadimu. Anggap saja kejutan yang belum saatnya diungkap. Seperti kado yang belum saatnya dibuka. Sabar saja.
Sabar... mudah diucap, mudah untuk disarankan ke orang, tapi berat untuk dilakukan saat pukulan pertama mendarat tepat di muka. Sabar itu adalah saat pukulan pertama... Seperti seorang wanita yang menangis meraung-raung pada kematian keluarganya, lalu diingatkan Rasulullah dan dia menyentak Rasul karena tidak tahu yang mengingatkan adalah Rasulullah. Hiyah.... sabar itu pada pukulan pertama.
Ini sudah bukan pukulan pertama.... dan kenapa aku masih belum bisa tenang dengan keadaan?
Aku ngga boleh benci sama dia. Bagaimanapun, dia ayah dari anak yang lahir dari rahim saya. Seberapapun bejatnya akhlaknya, aku tidak boleh menularkan kebencian ini pada anak. Tapi apa mudah, dengan perlakuan yang seperti ini? Yaah, setidaknya dia tidak main tangan. Alhamdulillah. Dia cuma tidak bertanggung jawab dan kabur. Udah. Sementara orang di luar sana memuji-muji dia karena ketidaktahuan mereka. Kadang aku berharap ini menjadi bom waktu yang nantinya akan meledak indah dan menghancurkan segala yang ia bangun selama masa pelariannya. Serupa kebun indah yang siap panen raya, tapi terbakar habis oleh api dalam semalam tak menyisakan apapun. Kecuali sesal yang meraung-raung seperti orang gila.
Aku harap dia merasakannya =) Sungguh.
Aku masih belum bisa seperti Nabi Yusuf yang ikhlas memaafkan seluruh saudaranya, walau kedengkian mereka telah menyengsarakannya di masa kecil hingga dewasa. Masih belum bisa seperti Nabi Ya'qub yang menyerahkan segala kesedihannya pada Allah, karena keyakinannya bahwa Allah punya maksud dari itu semua. Bahwa tidak ada yang sia-sia. Dia sedih kehilangan anak kesayangannya sampai buta penglihatannya, tapi tidak pernah ia berputus asa dari rahmat Allah.
Masih belum bisa seperti Rasulullah, yang bertahan 13 tahun di Mekkah dengan segala siksaan, hinaan, caci maki bertubi-tubi dari kaum Quraisy. Baru enam bulan.... dan selama itu aku masih bisa makan enak, tidur nyenyak, dingin pake AC.
Yah, baiklah, aku harus bertanya lagi pada diriku, dimana rasa syukur itu. Astaghfirullah. Memang tidak mudah, tapi kamu harus belajar untuk percaya, Ras. Ini hidup yang harus kamu jalani, dan kamu terpilih untuk menjalaninya karena kamu mampu. Allah tahu kamu mampu.
*inhale.... exhale*
Allah tahu balasan yang tepat untuk orang seperti dia. Hentikan dirimu dari membencinya, karena itu cuma akan merusak dirimu sendiri. Walau berat, belajar untuk tidak menyakiti diri sendiri dengan berpikir negatif sementara orangnya di sana mungkin tenang-tenang aja. Setenang pesakitan menunggu waktunya berakhir di tiang gantungan.
Kamu akan mendapat yang layak kamu terima.
And so be him.
Hufff.... inhale... exhale. Case closed.
Bukan pertama kalinya aku sakit hati. Malah sudah sering. Kecewa, hal-hal yang tidak sesuai harapan, menyukai orang yang ternyata jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Aku sudah biasa. Tapi tetap saja sakitnya itu tidak biasa. Heran saya. Sudah sering mengalami tapi kenapa tidak bisa kebal juga? Tiap kali, masih saja sakit. Masih saja marah. Masih saja sulit untuk memaafkan. Pun kali ini ketika "kapal" yang sudah lama ditinggal nakhodanya ini pada akhirnya harus karam, dan aku sudah kembali ke kapal induk bersama si kecilku tersayang. Bukan kepergian nakhoda yang kusedihkan. Malah dengan senang hati aku mendengar kabar bahwa ia ditelan ikan paus, terkoyak-koyak di lautan, berhamburan jadi buih dan tak berbentuk lagi. Bukan ketiadaannya yang kusesalkan...
Mungkin atas kebodohanku sendiri, yang terlalu mudah percaya pada mulut manis, dan keajaiban yang... entahlah. Aku sebenarnya berpegang pada apa. Doa sudah diucap, ikhtiyar sudah dilakukan. Pada akhirnya kemampuan menerima takdir yang menjadi pembeda. Bahwa semuanya dari Allah, baik yang menyenangkanmu, maupun yang menyesakkan dadamu. Pun bahwa saat ini masih harus menyembunyikan kenyataan dari banyak orang yang mungkin kepo atas kehidupan pribadimu. Anggap saja kejutan yang belum saatnya diungkap. Seperti kado yang belum saatnya dibuka. Sabar saja.
Sabar... mudah diucap, mudah untuk disarankan ke orang, tapi berat untuk dilakukan saat pukulan pertama mendarat tepat di muka. Sabar itu adalah saat pukulan pertama... Seperti seorang wanita yang menangis meraung-raung pada kematian keluarganya, lalu diingatkan Rasulullah dan dia menyentak Rasul karena tidak tahu yang mengingatkan adalah Rasulullah. Hiyah.... sabar itu pada pukulan pertama.
Ini sudah bukan pukulan pertama.... dan kenapa aku masih belum bisa tenang dengan keadaan?
Aku ngga boleh benci sama dia. Bagaimanapun, dia ayah dari anak yang lahir dari rahim saya. Seberapapun bejatnya akhlaknya, aku tidak boleh menularkan kebencian ini pada anak. Tapi apa mudah, dengan perlakuan yang seperti ini? Yaah, setidaknya dia tidak main tangan. Alhamdulillah. Dia cuma tidak bertanggung jawab dan kabur. Udah. Sementara orang di luar sana memuji-muji dia karena ketidaktahuan mereka. Kadang aku berharap ini menjadi bom waktu yang nantinya akan meledak indah dan menghancurkan segala yang ia bangun selama masa pelariannya. Serupa kebun indah yang siap panen raya, tapi terbakar habis oleh api dalam semalam tak menyisakan apapun. Kecuali sesal yang meraung-raung seperti orang gila.
Aku harap dia merasakannya =) Sungguh.
Aku masih belum bisa seperti Nabi Yusuf yang ikhlas memaafkan seluruh saudaranya, walau kedengkian mereka telah menyengsarakannya di masa kecil hingga dewasa. Masih belum bisa seperti Nabi Ya'qub yang menyerahkan segala kesedihannya pada Allah, karena keyakinannya bahwa Allah punya maksud dari itu semua. Bahwa tidak ada yang sia-sia. Dia sedih kehilangan anak kesayangannya sampai buta penglihatannya, tapi tidak pernah ia berputus asa dari rahmat Allah.
Masih belum bisa seperti Rasulullah, yang bertahan 13 tahun di Mekkah dengan segala siksaan, hinaan, caci maki bertubi-tubi dari kaum Quraisy. Baru enam bulan.... dan selama itu aku masih bisa makan enak, tidur nyenyak, dingin pake AC.
Yah, baiklah, aku harus bertanya lagi pada diriku, dimana rasa syukur itu. Astaghfirullah. Memang tidak mudah, tapi kamu harus belajar untuk percaya, Ras. Ini hidup yang harus kamu jalani, dan kamu terpilih untuk menjalaninya karena kamu mampu. Allah tahu kamu mampu.
*inhale.... exhale*
Allah tahu balasan yang tepat untuk orang seperti dia. Hentikan dirimu dari membencinya, karena itu cuma akan merusak dirimu sendiri. Walau berat, belajar untuk tidak menyakiti diri sendiri dengan berpikir negatif sementara orangnya di sana mungkin tenang-tenang aja. Setenang pesakitan menunggu waktunya berakhir di tiang gantungan.
Kamu akan mendapat yang layak kamu terima.
And so be him.
Hufff.... inhale... exhale. Case closed.
Comments
Post a Comment