I love you, I love you, after my love for Allah, Rasulullah, my mom, my mom, my mom, my father, then it's you... I love you.
Kolom paling kiri, baris paling depan, anak lelaki itu duduk bersama seorang anak laki-laki lain. Seiring berjalannya waktu mereka menjadi sahabat dalam banyak hal. Anak perempuan itu berjilbab putih polos, duduk persis di belakangnya dengan seorang teman perempuan yang sama-sama berjilbab. Posisi duduk seperti ini bertahan setahun lamanya, hingga banyak tugas kelompok yang jika ditentukan berdasarkan posisi duduk, maka empat orang ini akan sering bersama. Berdasarkan urutan presensi, si anak lelaki dan si anak perempuan kemungkinan akan sering bersama, karena nomer mereka berurutan. Hmmm...
Posisi menentukan prestasi kah, witing tresno jalaran soko kulino kah, atau memang takdir, si anak lelaki menaruh perasaan pada si anak perempuan. Tentu saja diam-diam karena si lelaki ini anak pendiam, pemalu, bicara seperlunya atau dia hanya sedang beradaptasi dengan lingkungan baru di sekolah menengah atas ini. Si anak perempuan, dalam dunianya sendiri, perlahan tapi pasti ia memperhatikan anak lelaki yang satunya lagi. Dan ia pun jatuh hati. Awal dari cinta segitiga? Hmmm, kita lihat saja nanti.
Satu sms bergulir di hape si anak perempuan. Tanpa nama. Mulai lah dia bertanya-tanya. Berharap si anak lelaki periang yang duduk di pojok itu yang mengirim. Si lelaki pemalu makin tertunduk. Entah berharap perasaannya tak pernah terbaca, atau sedang menunggu timing yang tepat untuk mengungkapnya. Waktu terus berlalu. Ibarat benih, rasa itu terus tumbuh, mengakar, hingga tampak kelopak-kelopak kecilnya. Si anak perempuan mulai tahu kalau bukan si periang yang mengirim sms itu. Antara kecewa dan penasaran, ia berusaha mengenal si anak lelaki pendiam itu. Tapi saat itu hatinya tidak berubah. Si pendiam mungkin hanya sekedar seorang teman sekelas yang duduk persis di depannya. Dan penasarannya masih tertuju pada si periang, yang ternyata hanya menganggap si anak perempuan temannya saja. Tidak pernah lebih, tidak kurang. Dari semua anak perempuan di kelas itu, anak perempuan di bangku kedua itu cukup... yah, "istimewa". Teman yang bisa diandalkan untuk mengingatkan PR, tugas, atau ujian yang akan datang. Ketika mengirim sms ke anak perempuan lain ia anggap rawan membuat GR, sepertinya si periang ini lupa kalau si anak perempuan juga satu makhluk gelas kaca yang punya perasaan.
Jadilah si pendiam menyimpan rasanya sendiri, dan si anak perempuan terjebak fren-zone parah, yang semakin menggila di tahun ketiga kebersamaan mereka sebagai teman sekelas.
Di tahun kedua di masa-masa di sekolah ini, mereka tidak lagi duduk berdekatan. Si anak perempuan duduk di bangku paling belakang. Tempat yang cukup leluasa untuk mengamati seisi kelas. Si anak pendiam dan periang masih jadi teman sebangku yang awet, solid dan kompak. Kali ini si pendiam mulai bergerak lebih dari masa kelas satu dulu. Ada hadiah yang terselip di tas si anak perempuan saat ia sejenak meninggalkan kelas. Ada boneka jumbo yang diantar langsung ke rumahnya di malam ulang tahunnya ke-16. Tapi tidak ada love confession yang nyata terucap. Andaikan ada, mungkin si anak perempuan ini akan bersiap menolak, karena hatinya masih penasaran dengan si periang, walau jelas dia sadar posisinya hanya sebagai teman pengingat PR. Setidaknya dengan tugas itu, ia merasa dibutuhkan oleh si periang. Ah... fren-zone...
Rasa itu tidak pernah dengan jelas diungkap oleh si pendiam. Apa yang ia tunggu? Entahlah, jangan tanya padaku. Hingga mereka lulus dan berpisah karena pilihan studi yang berbeda satu sama lain. Bukan hanya beda jurusan, beda kota. Beda pulau. Terpisah jarak kadang malah mengungkap apa yang tak bisa disampaikan ketika berdekatan.
Satu sms itu terkirim dari puncak gunung, kata dia. Di ketinggian gunung itu, masih si anak perempuan itu yang ia ingat. Dengan satu rasa yang masih dia jaga. Hingga si anak perempuan tak tahu harus membalas apa. Bodohnya, ia diamkan pesan itu sampai sepekan lamanya dan mungkin.... itu awal dari sesal yang tidak semestinya, ketika kamu mengenal takdir. Tapi ia masih merasa cinta itu perlu pembuktian, bukan hanya kata. Apalagi lewat sms yang dikirim ribuan mil jaraknya di atas permukaan laut. Antara dia benar, iseng, atau hanya euforia. Ia ingin kepastian, padahal untuk yang lainnya, begitu mudah berbagi rasa. Ah... perempuan itu.
Bertahun berlalu... mungkin lelah, mungkin usang dimakan waktu. Rasa itu perlahan sirna dari permukaan. Dipendam tanah, tenggelam di lautan, menguap di udara, atau terkunci di satu sudut hati yang dalam (hadohhhh), anak lelaki itu kembali menatap kenyataan bahwa mereka sudah terpisah jauh, dan mungkin ini cinta tak berbalas terlama yang ia jaga. Ia mencari cinta yang lainnya.
Apa kabarmu, anak perempuan? Main hati di sana, di sini, seperti tak bisa sendiri. Jatuh bangun, patah hati, melekatkan serpihan hatinya kembali, dia sadar betapa berharga satu rasa yang pernah ada tapi ia abaikan. Anggap saja ia tak bisa sendiri. Ia ingin rasa itu masih untuknya. Tapi si lelaki pendiam sudah berpaling arah. Setidaknya musim dingin yang kini menyapa, setelah musim semi yang sibuk sendiri. Ia mencari dalam tumpukan salju, sedikit kepingan dari masa lalu. Mencoba bertahan, menjemput kembali apa yang ia anggap pernah jadi miliknya. Akan tetapi sebenarnya tidak pernah jadi miliknya, toh itu selamanya disimpan si lelaki tanpa pernah ia ungkap secara nyata. Hanya percikan tanda.
Lelah, berpaling, berlabuh di sudut hati yang lain. Hingga karam di satu titik waktu.
Terdiam, menatap kembali ke belakang, mencari sisa-sisa cerita masa lalu...
Hummm...
Mungkin suatu hari mereka akan kembali bertemu di satu persimpangan jalan. Untuk satu awal yang baru, bersama. Mungkin mereka sebenarnya sedang berjalan beriringan, di balik satu tembok besar, menuju satu tempat yang sama, dengan cara yang berbeda. Mungkin memang cukup sampai di situ. Tanpa koma, tanpa tanda tanya. Mungkin.
Cinta di urutan ketujuh... hmmm... Itu kata dia. Yang dipertanyakan kebenarannya oleh satu hati yang lainnya. Ia menunggu, hingga keduluan yang lain mengisi hidupnya. Yang satu masih tersimpan di satu sisi hati, hingga ketika yang sudah hadir ini melarikan diri dan meninggalkan satu lubang besar dalam hati, yang lain mencoba mengisi dengan caranya sendiri. Masih mempertanyakan arti... masa lalu...
menyimpan rasa dalam diam... dan terus percaya, kalau Allah tahu itu. Jemput takdirnya dengan doa dan lihat kejutan yang disimpan waktu untuk dia. Yuhuuu...
Kolom paling kiri, baris paling depan, anak lelaki itu duduk bersama seorang anak laki-laki lain. Seiring berjalannya waktu mereka menjadi sahabat dalam banyak hal. Anak perempuan itu berjilbab putih polos, duduk persis di belakangnya dengan seorang teman perempuan yang sama-sama berjilbab. Posisi duduk seperti ini bertahan setahun lamanya, hingga banyak tugas kelompok yang jika ditentukan berdasarkan posisi duduk, maka empat orang ini akan sering bersama. Berdasarkan urutan presensi, si anak lelaki dan si anak perempuan kemungkinan akan sering bersama, karena nomer mereka berurutan. Hmmm...
yang pojok kiri!deket jendela! |
Satu sms bergulir di hape si anak perempuan. Tanpa nama. Mulai lah dia bertanya-tanya. Berharap si anak lelaki periang yang duduk di pojok itu yang mengirim. Si lelaki pemalu makin tertunduk. Entah berharap perasaannya tak pernah terbaca, atau sedang menunggu timing yang tepat untuk mengungkapnya. Waktu terus berlalu. Ibarat benih, rasa itu terus tumbuh, mengakar, hingga tampak kelopak-kelopak kecilnya. Si anak perempuan mulai tahu kalau bukan si periang yang mengirim sms itu. Antara kecewa dan penasaran, ia berusaha mengenal si anak lelaki pendiam itu. Tapi saat itu hatinya tidak berubah. Si pendiam mungkin hanya sekedar seorang teman sekelas yang duduk persis di depannya. Dan penasarannya masih tertuju pada si periang, yang ternyata hanya menganggap si anak perempuan temannya saja. Tidak pernah lebih, tidak kurang. Dari semua anak perempuan di kelas itu, anak perempuan di bangku kedua itu cukup... yah, "istimewa". Teman yang bisa diandalkan untuk mengingatkan PR, tugas, atau ujian yang akan datang. Ketika mengirim sms ke anak perempuan lain ia anggap rawan membuat GR, sepertinya si periang ini lupa kalau si anak perempuan juga satu makhluk gelas kaca yang punya perasaan.
Jadilah si pendiam menyimpan rasanya sendiri, dan si anak perempuan terjebak fren-zone parah, yang semakin menggila di tahun ketiga kebersamaan mereka sebagai teman sekelas.
will you complete it? |
Di tahun kedua di masa-masa di sekolah ini, mereka tidak lagi duduk berdekatan. Si anak perempuan duduk di bangku paling belakang. Tempat yang cukup leluasa untuk mengamati seisi kelas. Si anak pendiam dan periang masih jadi teman sebangku yang awet, solid dan kompak. Kali ini si pendiam mulai bergerak lebih dari masa kelas satu dulu. Ada hadiah yang terselip di tas si anak perempuan saat ia sejenak meninggalkan kelas. Ada boneka jumbo yang diantar langsung ke rumahnya di malam ulang tahunnya ke-16. Tapi tidak ada love confession yang nyata terucap. Andaikan ada, mungkin si anak perempuan ini akan bersiap menolak, karena hatinya masih penasaran dengan si periang, walau jelas dia sadar posisinya hanya sebagai teman pengingat PR. Setidaknya dengan tugas itu, ia merasa dibutuhkan oleh si periang. Ah... fren-zone...
Rasa itu tidak pernah dengan jelas diungkap oleh si pendiam. Apa yang ia tunggu? Entahlah, jangan tanya padaku. Hingga mereka lulus dan berpisah karena pilihan studi yang berbeda satu sama lain. Bukan hanya beda jurusan, beda kota. Beda pulau. Terpisah jarak kadang malah mengungkap apa yang tak bisa disampaikan ketika berdekatan.
Satu sms itu terkirim dari puncak gunung, kata dia. Di ketinggian gunung itu, masih si anak perempuan itu yang ia ingat. Dengan satu rasa yang masih dia jaga. Hingga si anak perempuan tak tahu harus membalas apa. Bodohnya, ia diamkan pesan itu sampai sepekan lamanya dan mungkin.... itu awal dari sesal yang tidak semestinya, ketika kamu mengenal takdir. Tapi ia masih merasa cinta itu perlu pembuktian, bukan hanya kata. Apalagi lewat sms yang dikirim ribuan mil jaraknya di atas permukaan laut. Antara dia benar, iseng, atau hanya euforia. Ia ingin kepastian, padahal untuk yang lainnya, begitu mudah berbagi rasa. Ah... perempuan itu.
Bertahun berlalu... mungkin lelah, mungkin usang dimakan waktu. Rasa itu perlahan sirna dari permukaan. Dipendam tanah, tenggelam di lautan, menguap di udara, atau terkunci di satu sudut hati yang dalam (hadohhhh), anak lelaki itu kembali menatap kenyataan bahwa mereka sudah terpisah jauh, dan mungkin ini cinta tak berbalas terlama yang ia jaga. Ia mencari cinta yang lainnya.
Apa kabarmu, anak perempuan? Main hati di sana, di sini, seperti tak bisa sendiri. Jatuh bangun, patah hati, melekatkan serpihan hatinya kembali, dia sadar betapa berharga satu rasa yang pernah ada tapi ia abaikan. Anggap saja ia tak bisa sendiri. Ia ingin rasa itu masih untuknya. Tapi si lelaki pendiam sudah berpaling arah. Setidaknya musim dingin yang kini menyapa, setelah musim semi yang sibuk sendiri. Ia mencari dalam tumpukan salju, sedikit kepingan dari masa lalu. Mencoba bertahan, menjemput kembali apa yang ia anggap pernah jadi miliknya. Akan tetapi sebenarnya tidak pernah jadi miliknya, toh itu selamanya disimpan si lelaki tanpa pernah ia ungkap secara nyata. Hanya percikan tanda.
Lelah, berpaling, berlabuh di sudut hati yang lain. Hingga karam di satu titik waktu.
Terdiam, menatap kembali ke belakang, mencari sisa-sisa cerita masa lalu...
Hummm...
Mungkin suatu hari mereka akan kembali bertemu di satu persimpangan jalan. Untuk satu awal yang baru, bersama. Mungkin mereka sebenarnya sedang berjalan beriringan, di balik satu tembok besar, menuju satu tempat yang sama, dengan cara yang berbeda. Mungkin memang cukup sampai di situ. Tanpa koma, tanpa tanda tanya. Mungkin.
Cinta di urutan ketujuh... hmmm... Itu kata dia. Yang dipertanyakan kebenarannya oleh satu hati yang lainnya. Ia menunggu, hingga keduluan yang lain mengisi hidupnya. Yang satu masih tersimpan di satu sisi hati, hingga ketika yang sudah hadir ini melarikan diri dan meninggalkan satu lubang besar dalam hati, yang lain mencoba mengisi dengan caranya sendiri. Masih mempertanyakan arti... masa lalu...
menyimpan rasa dalam diam... dan terus percaya, kalau Allah tahu itu. Jemput takdirnya dengan doa dan lihat kejutan yang disimpan waktu untuk dia. Yuhuuu...
Comments
Post a Comment